PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu
Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidup di rumah tangga
Ah, tentang ini aku tak pernah bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- horison yang selalu biru bagiku -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua
KARYA HARTOYO ANDANGJAYA
RAKYAT
hadiah di hari krida
buat siswa-siswa SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman
Rakyat ialah kitajutaaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang beringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
KARYA TAUFIK ISMAIL
KARANGAN BUNGA
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
“Ini dari kami bertiga
pita hitam pada karangan bunga
sebab kami ikut berduka
bagi kakak yang ditembak mati
siang tadi “
JALAN SEGARA
Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan pawai bergerak
Dilakukan
Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari
Dan pelor membayar pajak
Negeri ini
Ditembuskan ke punggung
Anak-anaknya sendiri
KARYA TAUFIK ISMAIL
SETASIUN TUGU
Tahun empat puluh tujuh, suatu malam di bulan Mei
Ketika kota menderai dalam gerimias yang renyai
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan
Keleneng andong terputus di jalan berlinangan
Suram ruang stasiun berada dan tempat menunggu
Truk menunggu dan laskar berlagu-lagu perjuangan
Di tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku
Berhentilah waktu di setasiun Tugu, malam ini
Di suatu malam yang renyai, tahun empat puluh tujuh
Para penjem[put kereta Jakarta yang penghabisan
Hujanpun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh
Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Anak perempuan itu dua tahun, melengkap dalam pangkuan
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu setasiun
Anaknya masih menyanyi “Satu Tujuh Delapan Tahun”
Udara telah larut ketika tanda naik pelan-pelan
Seluruh menjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjaga anaknya yang kantuk dalam lena
Berkata : lambaikan tanganmu dan panggilan bapa
Wahai ibu muda, seharian atap-atap kuta untukmu berbasah
Karena kelaziman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir
KARYA AMIR HAMZAH
PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku pada-Mu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar dengan lepas
Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hati – bukan kawanku……….
KARYA RAMADHAN K.H.
TANAH KELAHIRAN
Seruling di pasir ipis, merdu
Antara gundukan pohon pina,
Terbang menggema di dua kaki
Burangrang- Tangkuban perahu
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun
Membeli tangga di tanah merah
Di kenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali
Kenakan kebaya merah ke pewayangan
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menurun
Kalau tidak karena puan
Tidaklah bintang meninggi hari
Kalau tidak karena tuan
Tidaklah beta datang kemari
Tidaklah bintang meninggi hari
Kalau bukan karena siang
Tidaklah beta datang kemari
Kalau bukan karena sayang
KARYA EMHA AINUN NADJIB
GADIS DAN SUNGAI
lihatlah gadis itu, yang berjalan sendiri di pinggir sungai
lihatlah rambutnya yang panjang dan gaunnya yang kuning
bernyanyi bersama angin
cerah matanya seperti matahari, seperti pohon-pohon trembesi
wahai cobalah tebak kemana langkahnya pergi
“aku ingin menyeberangi sungai
ada bunga memancar ke hati
kulihat semalam dalam mimpi
lihatlah gelora wajahnya dan langkahnya perkasa, berkatsemangat dari mimpinya, lihatlah matanya yang jernih itu
belum bisa menangkap duri dan batu-batu
wahai katakanlah segera kepadanya, bahwa arus sungai itu
sangatlah derasnya, Lumpur dan lintah banyak di dalamnya
hendaknya teguh dan kokoh kakinya, agar tak terperosok
jauh dan luka
PERMINTAAN
ada yang tersembunyi
terasa tak terkatakan
ada yang terpateri
padamu : satu permintaan
ada yang tersembunyiterasa tak terungkapkan
ada yang kucari
padamu : satu harapan
KARYA DARMANTO JATMAN
PERAHU LAYAR
kembang layar kembang
sibak air, ukir wajah laut
kembang layar kembang
tabur angin, remangi langit
pada nelayan aku berteriak lantang :
ai abang, abang
pasang layar abang, pasang layar
lalu hati meronta berdoa kepada Tuhan :
o Tuhan, bawalah manusia ini ke tempat taburan ikan
biar hati beriak menyusuri kehidupan
lalu dengan alun akupun menembang :
kembang layar kembang
laju ke ujung bumi, batas langit dan laut
KARYA ASRUL SANI
SURAT DARI IBU
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
Pergi ke laut bebas
Selama angin masih angin buritan
dan matahari menyinari daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
Pergi ke alam bebas
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
tiang-tiang akan kering sendiri
dan nahkoda sudah tak berpedoman
boleh engkau datang padaku
Kembali pulang anakku sayang
Kembali ke balik malam
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
kita akan bercerita
“tentang cinta dan kehidupanmu pagi hari”
KARYA CHAIRIL ANWAR
AKU
Kalau sampai waktuku
‘ku mau tak seorang ‘kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerjang
luka dan bisa kubawa berlari
berlari
hingga hilang pedih peri
dan aku akan lebih tidak peduli
aku mau hidup seribu tahun lagi
NISAN
Bukan kematian benar membusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak tahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
KARYA CHAIRIL ANWAR
DIPONEGORO
Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serang
Terjang
W.S. RENDRA
GERILYA
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan
Angina tergantung
Terkecup tembakau
Bandungan keluh dan bencana
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala menteri muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-sayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
Dan duka daun wortel
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantung-gantung
disiram atas tubuhnya
tubuh biru tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Mantap euy
BalasHapus