Si Pahit Lidah
By dongeng anak nusantara
Namanya Serunting. Ia adalah pangeran
dari Kerajaan Sumidang, tetapi ia lebih dikenal dengan Si Pahit Lidah.
Apakah lidahnya pahit? Tidak tentu saja. Ia mendapat julukan itu karena
apapun kalimat yang dia ucapkan akan berubah menjadi kutukan.
Si Pahit Lidah memperoleh kesaktiannya
setelah bersemedi selama bertahun-tahun di Bukit Siguntang. Ia bersemedi
sampai tubuhnya ditutupi oleh lumut. Begitu kaluar dari persemediannya,
ia mengutuk semua orang yang ia temui menjadi batu. Ia cukup berkata
“jadilah batu”, maka benda di hadapannya akan seketika berubah menjadi
batu.
Pada suatu hari Si Pahit Lidah
terperangkap dalam sebuah buku, yaitu buku dongeng untuk anak. Ia tak
pernah bisa keluar dari buku itu, tetapi ia tahu jika ada orang yang
membaca bukunya. Bertahun-tahun Si Pahit Lidah terperangkap, jika tak
ada yang membaca buku tersebut, ia hanya tidur. Kadang tiba-tiba ia
terbangun karena ada yang membuka bukunya, lalu ia melihat sekelompok
anak-anak sedang mendengarkan dongeng tentang dirinya. Pada kesempatan
lain ia terbangun di tempat yang berbeda. Begitu seterusnya sampai pada
suatu hari ia berada di perpustakaan sebuah Taman Kanak-Kanak.
Di tempat yang baru ini, Si Pahit Lidah
tak bisa tidur, seorang anak selalu membolak-balik halaman bukunya.
Gadis ini bahkan meminjam dirinya untuk dibawa pulang ke rumah. Karena
penasaran, Si Pahit Lidah mengamati anak itu. Ia adalah seorang gadis
kecil yang pendiam, matanya tajam, rambutnya ikal, dan kulitnya
kecoklatan. Akan tetapi anak itu cantik, sangat cantik. Si Pahit Lidah
sangat senang melihat kecantikan anak itu, juga tatapan matanya yang
terkagum-kagum membaca kisah tentang dirinya. Ia ingin menyapanya,
tetapi ia tak bisa.
Pada suatu hari, Si Pahit Lidah
mendengar keributan. Tampaklah segerombolan anak laki-laki tengah
mengganggu si gadis kecil, buku dan alat tulisnya berhamburan di lantai,
juga buku dongengnya, itulah kenapa Si Pahit Lidah bisa mendengar
keributan yang ada. Anak kecil itu tidak membalas meski teman-temannya
memaki-maki dirinya. Dengan gugup ia mengambil peralatan tulisnya dan
memasukkan ke dalam tas. Anak lelaki itu terus mengejeknya. Si Pahit
lidah geram melihatnya. Ia ingin sekali mengutuk anak-anak itu menjadi
batu, tetapi buku dongeng tiba-tiba tertutup dan dia tak bisa mendengar
apa-apa lagi.
Tak biasanya saat buku tertutup Si Pahit
Lidah tak bisa tidur. Ia terus memikirkan gadis kecil itu. Ia kasihan
melihatnya. Lalu si Pahit Lidah berdoa agar ia bisa keluar dari buku, ia
berjanji hanya akan menggunakan kesaktiannya untuk kebaikan. Tuhan
mengabulkan doanya. Malam itu ketika gadis kecil membuka buku
dongengnya, Si Pahit Lidah keluar dari buku. Gadis itu terpekik takut,
refleks ia bersembunyi di bawah meja belajarnya.
“Keluarlah! Aku ingin jadi temanmu”, kata Si Pahit Lidah.
“Kau tidak akan mengutukku?” gadis kecil bertanya dari bawah meja.
“Tidak, aku hanya akan menggunakan kutukanku untuk kebaikan”, jawab pahit lidah.
Lalu keduanya berteman. Gadis itu
bernama Valya. Ia menceritakan kepada Pahit Lidah bahwa ia selalu diejek
teman-temannya. Ia ingin sekali memiliki kesaktian seperti Si Pahit
Lidah untuk membalas teman-temannya.
Akan tetapi Si Pahit Lidah melarang sang gadis kecil untuk balas dendam kepada teman-temannya.
“Kita tak boleh membalas kejahatan
dengan kejahatan pula. Justru sebaliknya, balaslah kejahatan-kejahatan
mereka dengan kebaikan-kebaikan yang ada pada dirimu!”
“Mengapa Pahit Lidah? Bukankah engkau pun begitu terhadap semua orang yang bahkan tak berdosa padamu?”
“Iya, itu dulu ketika aku baru
mendapatkan ilmu sakti yang kuperoleh selama bertahun-tahun bertapa di
bawah pohon bambu. Tapi setelah aku terperangkap dalam sebuah buku
dongeng, aku mulai sadar dan berhenti untuk mengutuk siapapun. Oleh
karena itu aku dapat hadir di hadapanmu gadis manis.” Suasana hening
sesaat sang gadis menatap dalam sang Pahit Lidah.
“Pahit Lidah, bolehkah aku bertanya padamu?”
“Tentang apa itu gadis manis?”, sahut Si Pahit Lidah seraya merangkul tubuh mungil itu.
“Mengapa kau selalu mengutuk setiap orang yang kau lalui, padahal mereka kan tidak punya salah?”
“Hmm, itu sajakah yang ingin kau tanyakan padaku?”
Si gadis Manis hanya mengangguk sambil tersenyum manja.
“Karena aku sakit hati dengan saudara iparku yang bernama Aria Tebing dan isteriku sendiri.”
“Mengapa engkau sakit hati dengan mereka?”, sela gadis itu dengan nada penasaran sebelum Pahit Lidah meneruskan ceritanya.
“Hmm, aku sakit hati karena telah dikhianati oleh isteriku akan kelemahan diriku.”
“Ohh kasihan engkau Pahit Lidah, aku tak menyangka seorang isterimu bisa mengkhianati suaminya sendiri.“
“Begitulah kehidupan sayang, tak semua orang itu baik hatinya. Mungkin kau pernah mendengar pepatah dalamnya laut bisa kau ukur, tapi dalamnya hati siapa yang tahu?“
“Iya Pahit Lidah, teman-temanku tak ada yang baik. Mereka jahat semua, makanya aku ingin memberi pelajaran buat mereka.”
“Jangan sayang! Kau ingin tahu mengapa aku bisa berada dihadapanmu sekarang?”
“Kenapa?”
“Karena aku telah bersumpah dan memohon
kepada Tuhan, jika aku bisa keluar dari buku dongeng yang kau genggam
sekarang itu aku akan menggunakan kekuatanku untuk hal-hal yang baik
saja.”
“Kenapa? Apakah kau sudah bosan mengutuk mereka dengan kesaktianmu?”
“Oh, tidak gadis manis. Bukan itu yang kuinginkan, aku hanya..”, Si Pahit Lidah terdiam sejenak.
“Hanya apa?”
“Aku hanya ingin menemanimu sayang,
disaat teman-temanmu menjahati dan menjauhi dirimu. Aku tak tega
mendengar teriak tangisan kecilmu.”
“Niatmu tulus, Pahit Lidah.”
“Dari mana kau tahu aku tulus?”
“Karena Tuhan mengabulkan doamu.”
“Anak pintar, jadi tak perlu lagi aku berusaha membuatmu percaya padaku bahwa aku tulus ingin menemanimu.”
“Oh ya Pahit Lidah, bolehkah aku bertanya satu lagi padamu?”
“Apa itu, manis?”, sahut Pahit Lidah seraya merenggangkan rangkulan tangannya dari tubuh gadis itu.
“Hmm, aku pernah membaca sedikit tentang
kebaikan-kebaikanmu Pahit Lidah. Dan sekarang aku ingin mendengar dari
mulutmu sendiri.”
“Baiklah gadis manis. Dahulu aku pernah
menolong sepasang suami isteri yang sudah lanjut usia, bahkan ompong
untuk bisa memiliki seorang anak.“
“Sungguh?”, sambar gadis itu dengan
menatap tajam mata Si Pahit Lidah. Si Pahit Lidah hanya mengangguk
membalas tatapan gadis kecilnya.
“Sekarang sudah malam, waktunya kau
tidur. Esok kau harus pergi ke sekolah”, kata Si Pahit Lidah sambil
mengelus kepala bocah yang mengangguk hendak beranjak ke tempat tidur.
Malam itu terasa panjang bagi gadis
manis yang bernama Valya. Ia merasa senang bisa berhadapan langsung
dengan Si Pahit Lidah, entah itu mimpi atau nyata.
Pesan moral :
* Jangan terlalu percaya kepada orang lain,
* Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan pula,tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan
* Gunakan kelebihan yang kita punya untuk kebaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar