EMPAT TANGKAI BUNGA GUGUR DI TRISAKTI
Oleh: Rim Putra Sunda
Sore itu, Jakarta kelabu
Hujan turun meregang bagai busur
Menusuk jantung bumi
Empat tangkai bunga gugur di Trisakti
Terpanggang tirani.
Memang kematian adalah takdir
Tetapi kelaliman tak dapat diampuni
Menumpahkan darah sesama
Hanya akan melahirkan kepedihan dan kegeraman
Selamat jalan bungaku
Engkau adalah wangi dari bunga reformasi
Wangimu merebak keseluruh pelosok negeri
Membangkitkan semangat bumi
Tetesan darahmu tercatat dalam sejarah peradaban bangsa
Do'a kami, mengiringimu ketempat peraduanmu.
Bogor, Mei 1998.
LEWAT PUISI AKU BERNYANYI
Oleh: Rim Putra Sunda
Seandainya kaki ini tak beku di sandal jepit
Tentu aku dapat menari dan menyanyi bersamamu
Tentang kuncup bunga yang mekar di kampus-kampus
Percayalah kawan, akupun bernyanyi seperti di panggungmu
Tentang hijaunya daun, putihnya salju, birunya laut dan hitamnya aspal.
Lagumu senandung rindu yang lama hilang ditunggu kalbu
Yakinlah kumbang mengisap sari dari kantung lusuh bajumu
Ia akan terbang mencari sarang penyamun yang dipenuhi madu
Dan berbisik; Turunlah....... karena kumbang telah mengandung
Buah ranum tak berulat.
Biarlah aku bernyanyi di sini saja
Seperti nyanyian pajar menjemput pagi
Dari setiap uban yang jatuh lahir puisi
Meramaikan kenduri para sufi
Yang malu-malu berdiri.
Bandung, Mei 1998'.
KADO BULAN MEI
Oleh; Rim Putra Sunda
Selamat damai kataku kepada puluhan ribu
mahasiswa, pembuka kado duapuluh satu Mei
yang terekam dibalik layar kaca.
Kado apa yang mesti kubuat untukmu
selain buah demonstrasi? Sepasang merpati
atau untaian melati. Engkaulah buah hati
Selamat damai kataku, kepada bayangan
yang menggiring sepi ke sisi mentari pagi
membuka buku baru, lembaran baru, corfetan
baru. Bongkahan batu hitam yang menyimpan misteri
tentang orang-orang yang mengotori negeri ini
tentang perang sesuka hati.
Selamat damai kataku kepada diri sendiri
dari hari mencari hari yang terus ke sisi
senja lagi-senja lagi, lapar menggugat
kapan kita berhenti berdebat ?
Topeng-topeng lahir warna-warni
berebut hati mencri penghuni
berpencar mencari pemancar, dan
penghuni semakin gentar.
Selamat damai kataku, entah untuk siapa
hanya udara yang dihirup terasa semakin pengap
menunggu kabar hari esok.
Bandung, Juni 1998.
LEWAT LAYAR KACA NOVEMBER BERDARAH.
Oleh : Rim Putra Sunda.
Lewat layar kaca terekam peperangan
bambu runcing, batu, gas air mata, dan senapan
menyalak tak lagi bisa dielakan
bau amis darah terulang lagi.
Jalanan Jakarta terpanggang api amarah
dan langitpun berjelaga.
Aku menangis bukan gas air mata
tapi karena negeri ini penuh luka dan dukacita
hanya karena berbeda menjadi mati rasa.
Baru saja kita lega
belum kering darah 13 Mei diingatan
basah lagi 13 November di senapan kelaliman.
Kapan kita punya cerita tentang negeri khatulistiwa
hunian para raja yang adil palamarta
yang mampu menyantuni darah muda
bukan raja pencari pusaka
yang dijaga kawat berduri dan ponggawa
yang takut kehilangqan tahta.
Apa yang mesti kita perbuat
selain perang dan perang lagi
atau akan tetap mengembara di rimba belantara.
Kesadaran yang diperdebatkan tetap jadi impian
harta dan tahta jadi rebutan.
Rasa-rasanya ingin menghapus angka 13 dari penanggalan
menjadi angka keramat dalam ramalan
barangkali warna darah tidak lagi menyakitkan
tetapi merah meyakinkan.
Dan perbedaan menjadi pelajaran bagi perubahan
bukan lawan yang harus dimusnahkan.
Sumedang, November 1998.
MENANGISLAH
Oleh: Moch Djoko Yuwono
Menangis, menangislah Bunda Pertiwi
darah bersimbah
jiwapun meradang
senandung lagu sendu
: bertapa hatiku tak kan pilu, telah gugur pahlawanku......
Menangis, menangislah wahai Bunda Pertiwi
ketika di antara sebagian putra-putrimu masih ada
yang mencari kenikmataan sesaat
memenuhi ketidak puasan-ketidakpuasan
tanpa melihat arah
menuju kehancuran atau sebaliknya
sedangkan sebagian anak negeri yang lain tak henti
cemas berteriak tentang perubahan.
Menangis-menangislah, wahai Bunda Pertiwi
maka derasnya air matamu akan menyemai kelopak bunga
yang terkulai dan gugur oleh pelatuk senapan senja hari
maka derasnya air matamu akan menyuburkan
bunga-bunga mawar
berseri indah di taman yang damai.
Damai, damailah wahai anak negeri
mari menjalin jemari
sebelum senja menenggelamkan surya
sebelum kelopak bunga jatuh sia-sia
demi berjuta harap
demi berjuta damai
menuju hari esok
untukmu
untukku
untuk kita.
Majalah AKSI Jakarta, Mei 1998.
TANAH AIR MATA
Oleh: Sutarji
Tanah air mata tanah tumpah dukaku
mata air air mata kami
air mata tanah air kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana.
Bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian tak bisa menyingkir
kemanapun melangkah
kalian pijak air mata kami
kemanapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
Kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami.
Kompas 16 Agustus 1996
SAYA MENDENGAR INDONESIA MENYANYI
Oleh : Abdurahman Wahid [Gusdur] Kompas.
Saya bisa saja dianggap kurang dapat
melihat dengan baik,
Akan tetapi saya dapat mendengar,
mendengar dengan baik
Indonesia kita tercinta menyanyi.........
Saya mendengar Indoesia menyanyi,
Di tengah badai krisis Indonesia yang makin merajalela
Di kala perpecahan, kesaatuan dan persatuan menerpa kita,
Dari Sabang sampai Merauke,
Tua muda, pelajar-mahasiswa, usahawan dan pekerja,
Satu padu dalam lagu "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa"
Saya mendengar Indonesia menyanyi,
Budayawan dan seniman, penari dan musisi,
Politisi, karyawan swasta dan pegawai negeri,
Satu padu dalam lagu " Padamu Negeri".
Saya mendengar Indonesia menyanyi
Para pemuka bangsa, pakar, politisi dan praktisi,
Prajurit, perwira dan patriot pejuang sejati,
Tegar bersama dalam lagu " Maju Tak Gentar"
Dengar, hai dengar Indonesia menyanyi,
Bersatu padu dalam lagu harapan, pengabdian,
dan perjuangan.
Perjuangan untu membela yang benar,
yang dihembus dan disebar oleh angin perubahan,
dan reformasi.
SAYA MEMPUNYAI IMPIAN
[Dari lapangan Tianmen China] Kompas
Saya mempunyai impian
untuk impian ini, saya bersedia
menumpahkan darahku
untuk impian ini
Biar aku menahan lapar dan dahaga
Biar hatiku penuh dengan kegeraman
dan keputusasaan
Biar senapan kelaliman dengan napsu membunuh
Diarahkan ke dadaku
Karena di belakangku, tidak akan pernah akan membiarkan
Generasi anak-anak dan cucu-cucu Cina
Sebuah impian tentang demokrasi dan kebebasan.
[peristiwa demonsrasi mahasiswa yang salah satunya
meninggalnya seorang mahasiswa di gilas Tank Baja]
.KEPADA WAKIL RAKYAT
Oleh: Rim Putra Sunda
Yang terhormat wakil rakyat
Tuan adalah orang terhormat yang mewakili empat ratus ribu,
yang memilih tuan.
Suara tuan sangat kuat karena suara empat ratus ribu, yang
sanggup menggoyang bumi nusantara.
Mulut tuan mulut empat ratus ribu, yang disiapkan untuk membela
mulut-mulut lapar dan dahaga.
Kenginan kami sama dengan janji-janji tuan yang komitmen
terhadap perjuangan hak-hak hidup.
Setelah tuan terpilih mewakili kami, tuan jadi orang kaya mendadak
Kami curiga..........
Tuan korupsi, kolusi, dan nepotisme, empat ratus ribu yang memilih tuan
merasa malu dan kecewa.
Tuan jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan studi banding, sementara
persoalan di dalam negeri menggunung., dan
Kami bingung tujuh keliling...
Indoesia baru, yang tuan pasarkan belum laku.
Kami penasaran
Tuan berebut jabatan mencari posisi jadi menteri
Kami tidak mengerti....
Mewakli siapakah sebenarnya tuan-tuan......?
Bandung, Sept. 2000
SURAT DARI TSUNAMI
Oleh: Rim Putra Sunda
ACEH, NIAS 26 DESEMBER 20004
Kepada INDONESIA
Aku adalah TSUNAMI
Namaku berasal dari negeri Sakura
Gelombang samudra Hindia
yang meratakan perkampungan, kota dan desa,
tak terkecuali para suhada, tetapi aku masih
Kepada INDONESIA
Aku bukan durjana pencipta bencana
bukan pula teroris yang diburu dunia
atau Dazal yang melahirkan huru-hara
aku adalah alam yang dapat kalian baca
seperti kalian melihat terbit dan tenggelamnya Matahari
atau gerhana yang menenggelamkan Bumi
cuma kalian lalai terhadapku
walaupun ada di antara kalian pemerhati
tetapi membeku saat aku tiba.
Kepada INDONESIA
Aku juga berduka sangat dalam
sedalam samudra dari mereka yang tersisa
atas tingkahku yang tidak berkenan
meluluhlantakan sebagian dari kehidupan kalian
tak terkecuali anak-anak yang main petak-umpet di jalanan
Aku sayang pada mereka
Aku cinta mereka
mereka sekarang tak lagi merasa sakit
tak lagi lapar dan dahaga
atau rasa takut berkepanjangan
biarlah mereka tidur panjang
meninggalkan segala dunia
terbebas dari segala prahara.
Kepada INDONESIA
Aku masih punya kebanggaan pada kalian
pada hati yang masih hidup
pada dunia yang tidak mengenal batas
santunan dan bantuan tak terkira
mereka betul-betul tulus dan ikhlas membantu sesama
mengangkat jasad-jasad tak bernama
di tumpukan puing reruntuhan dan di kubangan lumpur hitam
Tetapi akupun prihatin pada kalian
ternyata kalian betul-betul miskin
miskin harta dan peralatan
miskin langkah dan penanganan
kalianpun canggung dalam pergaulan dunia
karena sudah dicap raja maling jalanan
yang hampir-hampir tak mampu menyalurkan bantuan.
Kepada INDONESIA
Akupun berharap pada kalian
menata langkah ke depan
tak lagi mencari-cari kambing hitam
berdebat berkepanjangan
cukuplah sudah seratus ribu jiwa tertanam dalam dada kalian
seratus ribu jasad tak bernama memohon pada kalian
agar poto copy bencana kemanusiaan
tak lagi terulang.
Saat suratku sampai di tangan kalian
Aku telah pergi jauh ke lempeng samudra
di bawah bayang-bayang perahu nelayan dan kapal pesiar
saat aku datang lagi, kalian telah siap menyambutku.
Tsunami...........
Sumedang, Januari 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar